I
Setelah semua masa lalu yang pada akhirnya membentuk
diriku seperti ini, aku tetap menyesalinya. Jika kalian berimajinasi tentang aku
adalah sosok yang hebat dalam sebuah drama, sebaiknya kalian berpikir ulang
untuk membaca kisah ini.
Tiga tahun sudah aku menghabiskan hidupku sebagai
sampah masyarakat. Pengangguran. Mengerikan bukan? Sebagian besar kawan lamaku
tak akan pernah percaya atau mengenali aku yang sekarang. Aku pun. Mari berhenti
bicara omong kosong mengenai masa lalu, yang bahkan tak akan membawa keajaiban
yang baik untukku saat ini. Begitulah aku memandang masa lalu.
sumber : disini
Risti, satu-satunya kawan lama yang bertahan
mengahdapi segala kegilaan di hidupku. Satu-satunya makhluk yang tahan
bersamaku setelah mendengar sebagian besar kisah lama. Anggap saja kami adalah
dua orang gila yang ditakdirkan bersama. Berbeda denganku, wanita melayu cantik
ini sudah mengorbankan tiga tahunnya mengabdi pada salah satu bank milik Negara
di ibu kota sana. Aku mungkin benar-benar akan mendekam di rumah sakit jiwa
tanpa wanita gila itu.
Di jaman yang sudah serba canggih ini tak lagi perlu
dipertanyakan bagaimana dua orang ini saling berhubungan. Sejak perpisahan kami
di Jogja tiga tahun lalu, kami begitu berterimakasih pada internet dan hand
phone yang begitu setia mempersatukan kita. Dimana segala alat transportasi
itu hanya mampu mengahadirkan kami berdua dalam satu kesempatan bersama selama
tiga tahun. Apa yang membuat dua orang berbeda ini terus bersama? Kalau dihitung
aku mengenal Risti di tahun kedua aku kuliah, berarti hubungan gila ini sudah
berlangsung sekitar delapan tahun. Hanya dari ketidaksengajaan bertemu dalam
sebuah kepanitiaan dan organisasi di kampus kami mulai dekat sampai semua
kegilaan yang kami bagikan dalam hubungan pertemanan itu yang membuatku
bersyukur memilikinya. Semoga dia sempat bersyukur memilikiku juga.
Seperti kebanyakan orang gila di luar sana, kita punya
kisah lalu yang membawa kegilaan dalam diri semakin menjadi. Ini adalah hal
paling memalukan dalam hidupku dimana aku harus mengakui bahwa aku kalah dengan
kegilaan yang aku derita. Sampai kisah ini harus aku tuliskan pada kalian
semua.
---------------------------------------------------------------------------------------------
30 Maret 2018
Hari terakhir memasukkan artikel buatanku di sebuah
situs dengan hadiah magang tiga bulan di perusahaan tersebut. Ya, aku seputus
asa itu untuk berpenghasilan. Hampir sepuluh naskah aku kirimkan dalam lomba
itu. Ini naskah terakhir yang bisa aku sajikan. Aku buka kembali facebook lawas
yang jika laba-laba mampu hidup didalamnya pastilah dia sudah beranak cucu di
sana. Semua link artikel ku lepaskan ke wall facebook berharap sedikit
perhatian dari dunia maya yang bahkan tak aku hiraukan lagi. Pada masa jayanya
(mungkin sekarang pun masih berjaya untuk beberapa orang), facebook ini
benar-benar membantu semua kegiatan perkampusanku dulu, mulai sekedar narsis
yang sekarang terlihat menggelikan dan memalukan sampai grup asisten
laboratorium yang membicarakan nilai yang pantas untuk segala laporan adik-adik
imut di angkatan bawah. Ya, itu dulu, saat ia berjaya di masa itu, saat aku pun
berjaya dalam hidupku.
Aku pasang kembali photo profile seadanya,
bersama kedua adikku di rumah sakit bebrapa bulan lalu. Tersenyum karna
mendapat pencahayaan maksimal untuk berfoto, hingga lupa bahwa tujuan ke rumah
sakit untuk membantu ibun (ibu dalam bahasa keluargaku) berkemas setelah
menginap beberapa hari di sana. Selesai dengan per-duniaan maya itu, aku
tinggalkan laptop menyala dan menyeduh kopi di dapur. Notifikasi dari laptop
bututku berbunyi setelah sekian lama tak bersuara. Dari facebook lama
itu. Berharap ada yang tertarik dengan berjibun artikel yang aku bagikan. Big
no. Masyarakat dunia maya itu lebih tertarik dengan foto yang baru saja aku
pampangkan ke dunia. Beberapa biji like ku terima di sana, komentar Hai pun
berdatangan. Termasuk dari dia. Domu.
Comments
Post a Comment